Lidah yang Pulang Kampung: Menyusuri Jejak Rasa Malang
Di kota ini, kuliner bukan cuma soal perut. Ia adalah identitas. Maka tak heran kalau banyak yang bilang, “Saya tidak hanya rindu Malang, tapi rindu rasanya.”
![]() |
kuliner malang |
Jajanan Legendaris dari Pasar ke Warung
Beberapa kuliner Malang bukan sekadar enak—mereka punya
cerita yang lebih tua dari usia kita. Salah satunya adalah Puthu Lanang
Celaket yang telah berjualan sejak tahun 1935. Saat sore tiba, antrean
mengular demi kudapan sederhana: putu, cenil, lupis yang disajikan dengan
parutan kelapa dan siraman gula merah cair. Hangatnya terasa seperti pelukan.
Ronde Titoni juga tak kalah legendaris. Minuman ini bukan hanya untuk menghangatkan tubuh, tapi juga kenangan. Di salah satu warungnya, saya mendengar seorang pengunjung bilang, “Dulu ibu saya sering bawa saya ke sini setiap selesai les piano. Sekarang saya bawa anak saya.” Makanan seperti ini tak pernah benar-benar hilang dari hidup kita—ia hanya berpindah tangan dari satu generasi ke generasi lain.
Dari Gang Kecil ke Instagram: Kulineran Kekinian yang
Tetap Tradisional
Malang juga berhasil merangkul generasi muda tanpa
kehilangan jati diri. Contohnya Bakso Bakar Pak Man, yang dulunya
dikenal lewat kabar mulut ke mulut, kini jadi ikon yang viral di media sosial.
Atau Bakso President yang menyajikan pengalaman makan di pinggir rel
kereta—sensasinya bikin banyak pengunjung mengeluarkan kamera sebelum sendok.
Tak jauh berbeda dengan Cwie Mie, mi khas Malang
dengan topping ayam yang lembut dan rasa gurih khas. Banyak kafe dan foodcourt
kini menyajikannya dalam tampilan modern, tapi rasa tetap mempertahankan
sentuhan khas rumah. Di sinilah seni kuliner Malang: memodernisasi tanpa
menghapus akar.
Ketika Kuliner Jadi Penuntun Pulang
Suatu sore saya pulang dari Surabaya dan tiba-tiba
memutuskan turun di terminal Arjosari, bukan stasiun tujuan akhir. Kenapa?
Karena saya kangen tahu campur di depan Masjid Sabilillah. Hangat, pedas, dan
aroma petisnya membuat saya merasa kembali jadi anak SMA yang suka bolos jam
kosong buat jajan.
Cerita seperti ini bukan milik saya saja. Banyak wisatawan yang datang ke Malang bukan untuk selfie di tempat wisata, tapi demi makan di warung langganan yang hanya mereka dan lidah mereka yang tahu.
![]() |
kuliner malang |
Lokasi yang Wajib Masuk Daftar Kulineranmu
Berikut daftar singkat tempat kuliner yang bisa kamu
jelajahi saat ke Malang:
Tempat |
Menu Andalan |
Harga |
Jam Buka |
Puthu Lanang Celaket |
Putu, Lupis, Cenil |
Rp5.000–10.000 |
17.30–22.00 |
Ronde Titoni |
Ronde hangat |
Rp8.000–15.000 |
18.00–23.00 |
Bakso President |
Bakso Urat, Bakso Bakar |
Rp10.000–30.000 |
09.00–21.30 |
Bakso Bakar Pak Man |
Bakso Bakar Pedas |
Rp15.000 |
10.00–20.00 |
Rawon Lonceng |
Rawon Daging Asli |
Rp25.000–35.000 |
08.00–20.00 |
Kuliner sebagai Warisan, Bukan Sekadar Konsumsi
Hal paling istimewa dari jajanan Malang adalah bagaimana ia
mempertahankan esensinya: murah, merakyat, dan menyentuh. Banyak warung atau
penjual yang bahkan tidak memperbarui desain warungnya sejak 30 tahun
lalu—karena yang diperbarui adalah rasa, bukan tampilan.
Inilah yang membuat para perantau, bahkan setelah tinggal di kota besar atau luar negeri, tetap mencari rasa Malang ketika pulang. Rasa itu hidup di tahu telor abang-abang, di aroma pisang goreng di kantin sekolah, atau di keripik tempe yang dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
![]() |
kuliner malang |
Jajananmalang.com: Menyimpan Jejak Rasa dalam Cerita
Jika kamu ingin menjelajahi kisah-kisah kuliner yang lebih
dari sekadar review, maka Jajananmalang.com
adalah tempatnya. Di sana, setiap cerita makanan dibalut dengan kenangan,
lokasi legendaris dibingkai oleh pengalaman, dan setiap rasa direkam bukan
hanya dengan kata-kata, tapi dengan hati.