Kulineran di Blitar: Menyusuri Rasa Tradisi dari Pasar Hingga Warung Legendaris
![]() |
Kulineran |
Menyesap Hangatnya Soto Daging Bu Sum: Kisah di Balik
Semangkuk Lezat
Saat pertama kali melangkah ke dalam Warung Soto Bu Sum di
Jalan Mawar, saya langsung disambut dengan aroma kuah kaldu daging yang
mendalam. Hari itu masih pagi, sekitar pukul 7.30, dan tempat ini sudah penuh.
Duduk di meja kayu yang mulai memudar warnanya, saya melihat nenek-nenek di
sebelah saya menyeruput soto dengan tenang sambil berkata, "Ini langganan
sejak zaman anak-anak masih kecil."
Semangkuk soto daging dengan potongan empuk, kuah bening
yang gurih, dan taburan bawang goreng menjadi sajian pertama dalam kulineran
saya hari itu. Harganya pun ramah di kantong, hanya Rp15.000. Saya berbincang
sebentar dengan Bu Sum, sang pemilik, yang sudah berjualan sejak 1985. “Resep
ini warisan ibu saya. Pakai tulang sapi untuk kaldu, masaknya delapan jam,”
jelasnya sambil tersenyum.
Pengalaman ini menjadi lebih dari sekadar makan. Ada cerita,
tradisi, dan kehangatan yang menyelimuti setiap suapan. Di sinilah kekuatan
kuliner Blitar—bukan hanya soal rasa, tapi juga cerita di baliknya.
Kuliner Pagi di Pasar Templek: Menemukan Rasa Asli yang
Nyaris Hilang
Pukul 6 pagi di Pasar Templek, suasana mulai hiruk-pikuk.
Saya mengikuti jejak warga lokal menuju lapak kecil yang menjual sego ampok,
nasi jagung khas pedesaan. Makanan ini dulu dianggap makanan orang miskin,
namun kini menjadi kebanggaan identitas budaya.
Saya membeli satu bungkus sego ampok lengkap dengan urap,
ikan asin, dan sambal tomat. Duduk di lantai pasar dengan alas koran, saya
menikmati rasa gurih, pedas, dan tekstur unik nasi jagung yang tak bisa saya
temukan di kota besar. Seorang ibu penjual, Bu Warti, berkata, “Anak-anak
sekarang sudah jarang makan ini, padahal sehat dan penuh serat.”
Inilah sisi kulineran yang tidak disorot media besar—makanan
yang masih hidup karena tangan-tangan sederhana dan tradisi yang dijaga dengan
hati.
![]() |
Kulineran |
Warisan Rasa dari Dapur Rumah: Pecel Mbok Bari yang
Legendaris
Di Jalan Mastrip, saya menemukan Pecel Mbok Bari, warung
sederhana yang buka sejak jam 5 pagi. Di sinilah saya bertemu dengan rasa yang
sangat akrab: pecel Blitar. Tapi yang membuatnya istimewa adalah sambal
kacangnya yang tidak terlalu manis, cenderung pedas, dengan aroma kencur yang
kuat.
Saya sempat bertanya ke Mbok Bari, “Kenapa sambalnya beda?”
Ia menjawab, “Ini pakai kacang sangrai sendiri, dan kencurnya bukan dari
pasar—saya tanam sendiri.”
Pengalaman makan di sini bukan hanya soal kenyang, tapi
tentang bagaimana makanan bisa menjadi media untuk menyambung kembali rasa
dengan tanah, dengan tradisi, dan dengan diri sendiri.
![]() |
Kulineran |
Jajanan Legendaris di Alun-Alun: Es Pleret dan Cenil yang
Menggoda
Sore hari, saya melipir ke Alun-Alun Kota Blitar. Banyak
pedagang kaki lima yang menjajakan jajanan tradisional. Pilihan saya jatuh pada
Es Pleret. Minuman dingin ini berisi bola-bola tepung beras yang kenyal,
disiram dengan sirup merah dan santan.
Rasanya? Nostalgia dalam satu gelas. Manis, segar, dan
sangat cocok diminum sambil duduk di bangku taman. Di sebelahnya, seorang bapak
menjual cenil warna-warni. Saya membeli satu porsi kecil, dan ternyata,
teksturnya begitu pas—tidak terlalu lembek, dengan taburan kelapa parut segar
dan gula merah cair.
Inilah alasan mengapa Blitar tetap menjadi destinasi kulineran
yang menggugah hati. Di tengah gempuran makanan modern, cita rasa sederhana ini
masih hidup.
Warung Lesehan Pak Min: Rasa Malam yang Bersahabat
Kulineran malam saya tutup di Warung Lesehan Pak Min yang
buka hingga tengah malam. Saya memesan ayam penyet, tempe goreng, dan sambal
bawang. Yang mengejutkan adalah tekstur ayamnya yang renyah di luar namun empuk
di dalam, dengan sambal bawang yang “nendang” di lidah.
Saya duduk bersama beberapa mahasiswa yang juga pelanggan
tetap warung ini. Salah satunya, Andi, berkata, “Kami langganan karena murah
dan sambalnya paling juara.” Dan memang benar, dengan Rp18.000, saya bisa
menikmati makanan lengkap plus teh hangat.
Kehangatan suasana, obrolan ringan antar pengunjung, dan
pelayanan cepat membuat tempat ini bukan sekadar warung, tapi ruang kumpul
komunitas kecil di malam hari.
Rasa yang Melekat di Lidah dan Kenangan
Blitar membuktikan bahwa kulineran tidak selalu harus
mewah. Justru di balik kesederhanaan itulah kita menemukan cerita dan nilai.
Setiap warung, pasar, dan pedagang memiliki caranya sendiri dalam menjaga rasa
dan tradisi.
Banyak dari makanan ini masuk dalam kategori makanan khas Blitar yang
layak dikenal lebih luas. Jika kamu ingin tahu lebih banyak soal cita rasa
otentik dari kota ini, jangan ragu mengeksplorasi langsung. Datang dengan hati
terbuka dan lidah yang siap dimanjakan.
Kuliner Blitar adalah tentang merayakan keaslian. Dalam
setiap sendok, ada sejarah; dalam setiap teguk, ada memori. Maka dari itu,
jangan hanya lewat kota ini—berhentilah, duduklah, dan rasakan kisah yang
disajikan di atas piring.