Dari Gang Kecil ke Lidah Nusantara: Cerita Kulineran Tak Terlupakan di Malang

Jajananmalang.com - Saat pertama kali menapakkan kaki di Kota Malang, saya tidak mencari tempat wisata. Saya mencari bau... bau wangi yang menyeruak dari penggorengan panas, aroma kuah kaldu yang menggoda dari kedai kaki lima, dan suara riuh pembeli yang antre demi seporsi kenangan rasa. Kulineran di Malang bukan sekadar makan — ini perjalanan rasa yang penuh kejutan.


Kulineran



Warung Rawon Nguling: Nostalgia dalam Semangkuk Hangat

Saya ingat betul, pagi itu langit Malang masih berkabut tipis. Jalanan basah sisa hujan semalam. Seorang tukang ojek online merekomendasikan saya mencicipi Rawon Nguling. Katanya, “Kalau ke Malang tapi belum coba rawon ini, ya kayak belum beneran ke Malang.”

Begitu sampai, saya langsung disambut bau khas daging hitam dengan taburan bawang goreng dan sambal terasi. Satu sendok pertama, rasa manis dan gurih kluwek langsung meresap ke lidah. Potongan dagingnya empuk, tidak terlalu tebal tapi mantap di kunyah.

Seorang pengunjung di sebelah saya, seorang bapak dari Surabaya, berkata, “Saya ke sini dua minggu sekali cuma demi semangkuk rawon ini, Mas.” Cerita seperti ini memperkaya pengalaman kulineran — bukan hanya soal rasa, tapi soal cerita yang mengikat kita pada satu meja makan yang sama.

Kulineran

Toko Oen: Perpaduan Kolonial dan Es Krim Jadul

Masih di jantung kota, saya melipir ke Toko Oen, salah satu kafe tua yang berdiri sejak zaman Belanda. Interiornya klasik — meja rotan, lantai tegel lawas, dan pelayan yang ramah dengan seragam putih bersih.

Saya pesan es krim Tutti Frutti. Teksturnya kasar, tidak seperti es krim modern. Tapi justru di situlah letak keistimewaannya. Rasanya manis dan sedikit asam, mengingatkan pada es krim buatan nenek di rumah.

Di meja sebelah, sepasang lansia dari Bandung tengah berbagi cerita tentang pertama kali mereka pacaran di tempat ini, 30 tahun lalu. "Es krimnya nggak berubah, tapi kita yang tambah keriput," canda si Bapak sambil tersenyum.

Nasi Tempong Mbok Wah: Pedas yang Bikin Kangen

Kulineran tanpa sambal seperti sayur tanpa garam. Maka dari itu, saya nekat mampir ke Nasi Tempong Mbok Wah — terkenal dengan sambalnya yang bisa membuat orang terdiam karena pedasnya.

Saya pilih lauk ayam goreng kremes, lalapan, dan sambal. Setelah suapan ketiga, saya benar-benar paham kenapa banyak orang menyebut tempat ini “ujian mental.” Tapi anehnya, makin pedas, makin ingin lagi. Pedasnya bukan cuma di lidah, tapi juga nyampe ke hati.

Seorang mahasiswa Universitas Brawijaya duduk di depan saya. Dia bilang, “Saya makan di sini tiap malam habis nugas. Nggak tahu kenapa, kayak ada sensasi lega setelah makan sambalnya.” Bagi saya, itulah bukti bahwa kuliner bukan hanya urusan fisik, tapi juga emosional.

Soto Ayam Lombok: Sarapan Favorit Warga Lokal

Di pagi berikutnya, saya berbaur dengan warga lokal yang antre di warung Soto Ayam Lombok di daerah Jalan Lombok. Jangan bayangkan warung megah — tempatnya sederhana, meja panjang dan bangku kayu tua.

Sotonya bening, dengan suwiran ayam kampung, irisan telur, dan sambal rawit merah yang menyala. Kuahnya harum dan ringan, tapi menghangatkan dari dalam.

Saya sempat mengobrol dengan pemiliknya, Ibu Rini, yang sudah berjualan sejak 1990-an. “Kami tidak pernah ubah resep, Mas. Semuanya masih sama seperti zaman suami saya dulu yang mulai buka warung ini,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Cerita semacam ini yang membuat setiap sendok jadi punya makna.

Kulineran

Es Pleret, Cita Rasa Manis dari Masa Kecil

Saya pikir hanya akan menemukan makanan berat selama kulineran di Malang, tapi ternyata jajanan manis juga jadi bagian penting dari perjalanan ini. Salah satunya Es Pleret, yang ternyata juga terkenal sebagai makanan khas Blitar —  yang mulai banyak dijual di Malang juga.

Minuman ini terdiri dari bola-bola kenyal berisi gula merah yang disajikan dengan kuah santan dingin. Rasanya lembut, manis, dan sedikit gurih. Saya membelinya dari seorang penjual keliling yang mangkal dekat Stasiun Kota Baru.

Anak-anak kecil mengerubungi gerobaknya, menunggu giliran sambil membawa gelas plastik kosong. Penjualnya bilang, “Saya sudah 20 tahun keliling bawa es pleret. Sekarang malah banyak yang cari di Instagram.”

Sungguh ironis tapi menyenangkan, makanan yang dulu dianggap jadul kini justru jadi hits karena nostalgia.

Kelezatan yang Menyatu dengan Suasana

Ada satu hal yang saya pelajari selama kulineran di Malang: rasa itu tidak berdiri sendiri. Ia melekat erat dengan suasana, cerita, dan orang-orang di sekitar. Makan bakso di pinggir rel, menyantap nasi rawon di bawah pohon tua, atau menyeruput kopi sambil dengerin lagu dari radio tua — semua itu menyempurnakan rasa.

Saya teringat ucapan seorang wisatawan asal Medan yang saya temui di warung kopi: “Di tempatku juga banyak makanan enak. Tapi di Malang, entah kenapa, makanannya kayak punya perasaan.”

Masih Banyak Cerita Kuliner Menunggu

Perjalanan saya tentu belum selesai. Masih ada puluhan tempat makan lain yang belum sempat saya coba: dari warung legendaris di gang kecil hingga kedai kekinian yang viral di TikTok. Tapi satu hal yang pasti, setiap langkah kulineran di Malang mengajari saya bahwa makanan bukan sekadar konsumsi — ini adalah cara untuk mengenal budaya, mengenang masa kecil, dan menciptakan cerita baru.

Bagi siapa pun yang ingin menjelajahi kota ini, saya sarankan jangan hanya berwisata ke tempat yang “Instagramable.” Pergilah ke tempat-tempat yang menyimpan jejak, warung-warung yang masih pakai resep turun-temurun, dan jajanan yang dijajakan dengan sepenuh hati.

Karena di sanalah letak kekuatan kulineran sejati: bukan hanya soal makan, tapi tentang rasa yang melekat bahkan saat kita sudah pulang ke rumah.

 

Share

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel