Menyusuri Rasa: Kulineran Seru di Blitar yang Bikin Lupa Pulang

Jajananmalang.com - Ada satu sore yang tak bisa saya lupakan di Blitar. Matahari merayap turun perlahan, dan aroma gurih dari sebuah warung sederhana di tepi jalan memikat langkah saya. Di sinilah petualangan kulineran saya dimulai, bukan dari daftar restoran hits Instagram, tapi dari rekomendasi sopir ojek online yang bilang, “Cobain soto daging di pojokan alun-alun, Mbak. Sudah sejak kakek saya muda ada itu.”

Blitar mungkin bukan destinasi pertama yang muncul di kepala saat bicara kulineran. Tapi justru di situlah letak kekuatannya—kota kecil ini menyimpan kekayaan rasa yang sederhana tapi memikat. Dan artikel ini adalah panduan rasa untukmu yang ingin mencicipi Blitar dari sisi paling menggoda: lidah dan kenangan.


Kulineran



Soto Daging Bok Ireng: Rasa Turun-Temurun yang Tetap Ramai

Saya tiba di warung soto Bok Ireng menjelang Magrib. Meja-meja hampir penuh, dan kepulan uap dari kuah soto membuat kaca jendela warung tampak berkabut. Begitu duduk, saya disambut aroma kaldu daging yang tidak hanya kuat, tapi juga hangat seperti pelukan nenek waktu kecil.

Seporsi soto di sini disajikan dengan potongan daging melimpah, sambal pedas, dan taburan bawang goreng yang renyah. Harga? Hanya sekitar 15 ribu rupiah—murah untuk ukuran rasa yang kaya seperti ini. Menurut pemilik warung, resep soto ini sudah diwariskan tiga generasi dan tidak pernah berubah sedikit pun. “Kami pakai kayu bakar sejak dulu. Itu rahasia aroma sotonya,” ujarnya.

Di sinilah saya sadar bahwa kulineran di Blitar bukan sekadar mengenyangkan, tapi merawat warisan.

Kulineran

Es Pleret: Nostalgia dalam Seteguk Manis

Setelah makan soto, saya diajak warga lokal mencoba es pleret di kawasan Pasar Legi. Es ini adalah minuman khas Blitar yang unik—terbuat dari bola-bola tepung beras berisi gula merah cair, disajikan dengan santan dan es batu.

Sambil duduk di bangku plastik, saya menyeruput es pleret sembari mendengarkan cerita penjualnya. “Dulu nenek saya jualan ini pakai pikulan. Sekarang saya lanjutkan, walau pasar sudah berubah.” Rasanya manis, lembut, dan ada kejutan legit saat menggigit pleretnya—sensasi sederhana yang sulit dicari di tempat lain.

Kalau kamu penasaran dengan lebih banyak kuliner khas Blitar, jangan ragu untuk menjelajahi warung dan gerobak di seputar kota ini. Banyak cerita yang belum sempat saya tulis, tapi sudah menetap di ingatan.


Pecel Mbok Bari: Sarapan Favorit Para Pekerja

Pagi berikutnya, saya berkunjung ke warung Pecel Mbok Bari. Lokasinya di sekitaran Jalan Mastrip, dan warung ini sudah buka sejak pukul 5 pagi. Ketika saya datang jam setengah tujuh, antrian sudah seperti antrean tiket konser.

Nasi pecelnya disiram bumbu kacang yang kental, pedas manis, dan sedikit aroma daun jeruk. Pelengkapnya? Tempe goreng dan rempeyek kacang yang kriuk. Yang membuat beda dari pecel kota lain adalah tambahan “kembang turi”—bunga yang dimasak sebentar dan memberi tekstur renyah pahit yang menyegarkan.

Salah satu pelanggan yang duduk di sebelah saya berkata, “Saya ke sini tiap Senin. Rasanya bikin semangat kerja.” Ucapan itu menggambarkan bagaimana makanan di Blitar bukan sekadar menu, tapi semacam ritual harian yang mengikat kota ini dalam harmoni.

Kulineran

Angkringan Simpang Alun-Alun: Tempat Kulineran Malam yang Hangat

Buat kamu yang suka suasana malam, kulineran di area sekitar alun-alun adalah pilihan tepat. Salah satu spot favorit saya adalah angkringan yang menyajikan wedang jahe, nasi kucing, dan sate usus hangat.

Saya datang sekitar pukul 9 malam, ketika kota mulai sunyi dan hanya suara jangkrik menemani. Duduk di tikar, sambil menyeruput wedang, saya berbincang dengan mahasiswa yang sering nongkrong di situ. “Kadang kami diskusi tugas, kadang cuma ngobrolin hidup. Tapi makanan di sini, selalu konsisten: murah dan menghibur.”

Harga makanan di angkringan ini berkisar antara Rp3.000–Rp10.000. Murah meriah, tapi kaya rasa dan cerita.


Rawon Pak Gito: Sentuhan Kuno yang Tak Pernah Mati

Terletak di Jalan Kalimantan, Rawon Pak Gito adalah salah satu warung rawon paling legendaris di Blitar. Uniknya, mereka tidak memakai kluwek yang terlalu hitam, sehingga kuah rawonnya sedikit lebih coklat, tapi tetap dengan cita rasa khas yang pekat.

Saya mencoba rawon dengan tambahan telur asin dan kerupuk udang. Dagingnya empuk dan kuahnya… hmm, seperti racikan lama yang dijaga dengan penuh cinta.

“Sejak kecil saya ke sini. Sekarang anak saya juga suka rawon ini,” kata seorang pelanggan yang datang bersama putrinya. Generasi berganti, tapi rasa tetap tinggal.


Tips Kulineran di Blitar dari Pengalaman Pribadi

Berikut beberapa tips yang saya pelajari dari perjalanan kulineran kali ini:

  1. Tanya orang lokal: Sopir ojek, petugas parkir, atau pedagang bisa memberi rekomendasi jujur dan otentik.
  2. Datang pagi atau malam: Banyak tempat kulineran buka subuh atau menjelang malam. Jam sibuk bisa bikin kehabisan makanan khas!
  3. Bawa uang tunai: Banyak warung kaki lima belum menerima pembayaran digital.
  4. Jangan hanya cari nama besar: Justru warung tanpa papan nama kadang menyimpan rasa terbaik.
  5. Catat cerita di balik makanan: Ini bukan cuma makanan, tapi sejarah, budaya, dan perasaan.

Menjelajahi kulineran di Blitar bukan hanya soal mencicipi rasa. Ini tentang menyelami cerita yang tersembunyi dalam semangkuk soto, seteguk es pleret, dan sejumput pecel. Setiap gigitan membawa kita lebih dekat pada jiwa kota ini—tenang, bersahaja, dan penuh kenangan.

Kalau kamu ingin mengenal lebih banyak soal makanan khas Blitar, jangan hanya baca. Datanglah, rasakan sendiri. Karena dalam dunia kulineran, pengalaman adalah bumbu paling berharga.

 

Share

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel