🍽️ Dari Rel Sampai Warung Pinggir Sawah: Kulineran Malang yang Bikin Rasa Jadi Cerita
Aromanya tajam—campuran kaldu tulang dan bawang goreng khas.
Tiap baksonya padat, tidak hambar, dan ketika dipotong, uratnya mencuat.
Meja-meja sederhana di sisi rel menjadi saksi obrolan santai para pelanggan
tetap dan pendatang baru.
Saya sendiri tak pernah melewatkan sambal uleg mereka yang
pedasnya merayap perlahan. Hati-hati, tapi nagih. Warung ini bukan cuma tempat
makan, tapi tempat meresapi Malang apa adanya.
![]() |
Kulineran |
2. Nasi Buk Madura Kasin: Pukul 9 Malam, Baru Hidup
Pernah datang ke warung yang justru baru mulai ramai
tengah malam? Nasi Buk Madura di kawasan Kasin adalah tempat yang
mengajarkan saya bahwa kulineran bukan soal jam makan, tapi soal ‘waktunya
lapar’.
“Saya biasa ke sini sehabis shift kerja,” ujar Pak Danu,
seorang sopir truk pengantar sayur. “Buknya baik, dan sambel jhelen-nya itu
yang saya cari.”
Seporsi nasi hangat disiram kuah kental santan, dipadu
dengan daging suwir dan sambal khas Madura yang gurih. Ada empal, usus, bahkan
paru goreng garing. Semua ditata rapi di piring rotan beralas daun pisang. Saya
menyantapnya sambil duduk di kursi plastik, dan itu rasanya seperti menemukan
kenyamanan di tengah gelapnya kota.
Satu tips: datanglah setelah jam 9 malam, saat Buk-nya
sedang semangat melayani dengan senyum tulus khas ibu warung.
![]() |
Kulineran |
3. Tahu Lontong Lonceng: Rasa Lama, Cerita Baru
Di salah satu sudut kota dekat pertokoan lama, saya
mencicipi Tahu Lontong Lonceng, tempat yang tak pernah absen
direkomendasikan oleh warga lokal. “Dari saya masih pacaran sampai sekarang
punya anak dua, langganan di sini,” kata Mbak Lilis, pelanggan tetap yang duduk
di sebelah saya waktu itu.
Tahu goreng renyah, irisan lontong hangat, dan bumbu kacang
yang kental berpadu manis-gurih, disiramkan di depan mata. Tak lupa, taburan
bawang goreng dan timun sebagai penyeimbang.
Saya suka bagaimana mereka menyajikannya dengan tangan
cekatan, tanpa mengurangi keramahan. Satu suapan langsung membawa kita ke rasa
masa kecil, bahkan meski baru pertama datang.
4. Rawon Nguling: Makan Siang Beraroma Sejarah
Menyusuri kawasan Tugu, saya mampir ke Rawon Nguling,
warung yang dari luar tampak seperti rumah keluarga jaman dulu. Langit-langit
tinggi, kipas angin tua, dan deretan meja kayu panjang membuat saya merasa
seperti sedang diundang makan siang oleh nenek.
Rawon di sini benar-benar dalam: kuah hitamnya pekat,
dagingnya besar namun empuk, dan sambal terasi-nya pedas tajam. “Kalau bukan
Rawon Nguling, bukan rawon asli,” kata seorang pengunjung dari Jakarta yang
duduk di meja sebelah saya.
Saya setuju. Ketika disandingkan dengan kerupuk udang dan
nasi panas, rawon ini benar-benar mempertegas betapa kuliner bukan sekadar
makanan, tapi pengalaman penuh rasa dan suasana.
![]() |
Kulineran |
5. Es Santan Pak Suroso: Pelepas Lelah Sehabis Panas
Saat cuaca Malang sedang tak menentu dan terik menusuk, saya
berteduh di pinggir jalan Ijen dan mencoba Es Santan Pak Suroso. Es-nya
bening, tidak terlalu manis, dengan potongan kelapa muda dan santan encer
dingin yang menyegarkan.
“Saya tiap pulang sekolah pasti beli ini,” ujar seorang
remaja SMA yang duduk di bangku plastik. Memang, kesederhanaan minuman ini yang
membuatnya disukai lintas generasi. Tidak neko-neko, tapi membekas.
Satu tegukan, dan saya seperti sedang minum dari masa lalu:
adem, ringan, dan menyegarkan rasa dan hati.
6. Lontong Kikil Sukun: Kuliner Subuh yang Dicari Orang
Waktu menunjukkan pukul 05.10 pagi, saat saya berhenti di
Sukun karena aroma kikil yang menguar dari salah satu gerobak. Lontong Kikil
Sukun ini katanya hanya buka hingga jam 08.00, dan antriannya mulai dari
subuh.
Duduk di bangku kecil, saya menyesap kuah kikilnya yang
kental dan wangi. Lontongnya padat, kikilnya kenyal namun empuk. Ada sensasi
gurih dan pedas yang menyatu dengan aroma bawang goreng yang royal.
“Dari muda sampai pensiun saya tetap suka kikil di sini,”
kata Pak Slamet, pengunjung senior yang datang membawa termos kopi. Itulah
bedanya kuliner lokal: punya pelanggan yang tetap, punya waktu-waktu khusus,
dan rasa yang konstan.
7. Menyambung Rasa: Menelusuri Kuliner yang Menghubungkan
Daerah
Dalam satu perjalanan ke Blitar, saya menyadari bahwa banyak
rasa di Malang yang juga bersinggungan dengan cita rasa khas Blitar. Misalnya
saja tempe goreng Blitar yang gurihnya mirip dengan tempe mendol Malang, atau
soto daging khas Blitar yang bisa kita temukan variasinya di beberapa warung
Malang.
Seorang pedagang soto pernah berkata pada saya, “Masakan
Jawa Timuran itu sebenarnya satu darah bumbu, beda tangan, beda teknik.” Dan
saya rasa itu benar.
Kulineran menjadi jalan untuk menyatukan pengalaman lintas
kota, lintas kenangan. Dan dalam satu suapan, kita bisa berada di dua tempat
sekaligus—di Malang, sekaligus merasakan khas Blitar yang menawan.