Kulineran di Malang: Rasa-Rasa yang Tak Pernah Bisa Ditukar
![]() |
Kulineran |
Makan di Pinggir Rel: Bakso President dan Sensasi yang
Tak Terduga
Duduk di bangku plastik di tepi rel kereta, suara klakson
kereta menggelegar, tapi semua itu tidak mengganggu — malah menambah suasana.
Bakso President memang sudah legendaris, tapi saya tak menyangka sensasinya
seotentik ini.
Saya pesan bakso campur, dengan bakso urat, telur, goreng,
dan tahu. Kuahnya panas, gurih, dan penuh aroma bawang goreng. Sambil
menyeruput kuahnya, saya sempat ngobrol dengan seorang ibu asal Kediri.
Katanya, “Anak saya kuliah di sini, tiap saya datang pasti ngajak makan ke
sini. Nggak pernah bosan.” Cerita-cerita kecil seperti ini membuat kulineran di
Malang bukan sekadar wisata perut, tapi wisata batin.
Sejuk, Manis, dan Tradisional: Singgah ke Penjual Es
Pleret
Pernah makan jajanan yang bikin kamu senyum tanpa sadar?
Begitulah saya waktu menemukan gerobak es pleret di pinggir Alun-Alun Tugu. Di
bawah pohon trembesi besar, seorang bapak tua menyajikan minuman dingin berisi
bola-bola kenyal isi gula merah dalam kuah santan dingin.
Sensasi manis-gurihnya langsung membungkus lidah. Saya baru
tahu bahwa minuman ini juga termasuk jajanan khas Blitar yang kini
ikut meramaikan sudut-sudut kulineran Malang. “Saya dulu jualan di Blitar, Mas.
Tapi di Malang lebih rame,” ujar si penjual, sambil tersenyum memperlihatkan
gigi-gigi yang mulai tanggal.
![]() |
Kulineran |
Di Gang Sempit Tapi Rame: Tempe Mendol dan Pecel Kawi
Bukan tempat mewah, tapi tempat yang bikin betah. Di Jalan
Kawi, saya menemukan pecel sederhana yang sudah buka sejak subuh. Nasi hangat
disiram sambal kacang kental, dilengkapi mendol tempe dan rempeyek renyah. Di
meja sebelah, seorang bapak-bapak pegawai Dinas PU sedang sarapan. “Ini tempat
sarapan wajib saya tiap hari, lho,” katanya.
Tempe mendol di sini luar biasa — rasanya pedas gurih, agak
smokey, dan teksturnya pas di gigit. Hal kecil seperti ini menunjukkan bahwa
kulineran tidak harus mahal, yang penting rasa dan suasananya.
Soto Daging Madura Ala Malang: Paduan Hangat Dua Tradisi
Saya penasaran saat melihat antrean panjang di sebuah warung
kecil dekat Pasar Besar. Ternyata, mereka menjual soto daging dengan kuah
santan ringan dan potongan daging sapi yang besar dan empuk.
Saat saya mencicipi, rasa kuahnya langsung mengingatkan pada
soto khas Madura, tapi dengan sentuhan lokal: lebih ringan dan penuh taburan
seledri segar. “Banyak pelanggan dari luar kota yang minta tambah kerupuk
udang,” kata pemiliknya, Mas Bayu, yang sudah berjualan sejak 2007.
Yang menarik, di meja sebelah saya bertemu dua orang
traveler dari Jakarta yang sedang kulineran keliling Jawa Timur. “Soto ini
masuk top 3 makanan kami sepanjang trip ini,” kata mereka. Lagi-lagi, kisah
pertemuan dengan orang asing justru memperkuat rasa lokal yang saya nikmati.
![]() |
Kulineran |
Makan Siang di Warung Lawas: Nasi Buk dan Aroma Kenangan
Saya mampir ke warung Nasi Buk yang hanya buka beberapa jam
setiap siang. Menu andalannya nasi putih dengan campuran sayur lodeh, jeroan
sapi, serundeng, dan sambal terasi. Makanannya disajikan cepat, tapi rasanya
menetap lama di ingatan.
Saya ngobrol dengan Bu Yati, sang pemilik. “Dulu saya jualan
di trotoar, sekarang alhamdulillah sudah punya tempat tetap,” katanya. Dia
menunjukkan foto-foto lama saat masih berdagang di emperan toko. Rasanya
seperti makan dengan seseorang yang kita kenal sejak kecil — akrab dan hangat.
Toko Kue Kuno dan Camilan Jadul yang Masih Bertahan
Saat sore hari, saya menyempatkan mampir ke toko kue tua di
kawasan Kayutangan. Etalasenya penuh dengan pastel, risoles, lemper, hingga kue
tart klasik dengan hiasan ceri merah. Semua ditata rapi, persis seperti
toko-toko era 80-an.
Saya membeli tiga jenis kue dan duduk di bangku kayu sambil
menikmati teh tubruk. Seorang pengunjung tua, entah siapa, duduk di samping
saya dan berkata, “Waktu kecil saya sering dibelikan kue di sini sama bapak.
Sekarang saya yang beliin buat cucu.” Dalam diam, saya tersentuh — ternyata
rasa bisa menjadi warisan.
Nasi Goreng Mawut Tengah Malam: Kunci Perjalanan Tak
Terduga
Kulineran juga soal waktu. Dan tengah malam adalah waktu
paling jujur untuk makanan enak. Di Jalan Ijen, saya menemukan tukang nasi
goreng mawut keliling. Kompornya kecil, asap mengepul, tapi antreannya
mengular.
Nasi goreng ini beda — ada mie kuning, irisan kol, telur
orak-arik, dan sedikit sambal yang dibaur langsung saat digoreng. Rasanya
panas, gurih, sedikit manis, dan penuh kejutan. “Saya biasa lewat sini jam 11
malam, dan selalu habis dalam sejam,” ujar penjualnya sambil tetap sibuk
mengaduk wajan.
Saya makan sambil berdiri, karena bangku sudah penuh. Tapi
entah kenapa, malam itu jadi salah satu pengalaman kulineran paling berkesan.
Saat kamu makan tanpa ekspektasi, justru rasa yang datang jadi lebih jujur.