Melejit Rasa di Malang: 10 Kuliner Legendaris yang Bikin Balik Lagi
![]() |
Kuliner |
1. Rawon Nguling – Hangat dan Hitam Pekat Penuh Rasa
Tak lengkap ke Malang tanpa mencicipi rawon legendaris ini.
Berlokasi di Jalan Zainul Arifin, Depot Rawon Nguling sudah berdiri
sejak era 1940-an.
Saat saya datang sekitar pukul 08.30 pagi, antrean sudah
panjang. Bahkan ada yang datang dari Tulungagung hanya untuk sarapan di sini.
Kuah hitamnya pekat karena kluwek asli, dengan daging yang super empuk.
Tambahkan sambal, sedikit emping, dan nasi hangat, maka jadilah pagi yang
sempurna.
2. Bakso President – Makan Bakso di Samping Rel Kereta
Sensasi makan bakso sambil mendengar kereta lewat hanya bisa
dirasakan di Bakso President. Berdiri sejak 1977, tempat ini jadi ikon
kuliner Malang.
Menu favorit di sini adalah bakso urat dan bakso bakar.
Jangan lupa pesan campuran lengkap—porsi jumbo dengan kuah bening gurih yang
bikin nagih.
3. Tahu Lontong Lonceng – Sederhana tapi Selalu Ramai
Berada di gang kecil sekitaran Pasar Besar, warung ini
dikenal sejak 1935. Paduan tahu goreng, lontong, tauge, timun, dan bumbu kacang
ini terlihat sederhana—tapi soal rasa, luar biasa!
Saya sempat ngobrol dengan seorang bapak tua pelanggan tetap. Katanya, sejak muda sampai punya cucu, ia selalu makan di sini. “Rasanya nggak pernah berubah,” ujarnya sambil menyeruput es teh.
![]() |
Kuliner |
4. Cwie Mie Malang – Mi Ayam dengan Gaya Halus
Cwie mie adalah versi Malang dari mi ayam. Mi-nya tipis dan
lembut, topping ayamnya berbumbu ringan, disajikan dengan kerupuk pangsit dan
kuah bening.
Beberapa rekomendasi tempat: Hot Cwie Mie, Mie
Gajah Mada, atau Depot Gang Djangkrik. Semua punya racikan cwie mie
yang bisa bikin kamu ketagihan.
5. Sate Landak Bu Ria – Ekstrem Tapi Digemari
Kalau kamu petualang rasa, wajib coba sate landak. Dagingnya
empuk, tidak amis, dan dibumbui dengan rempah khas. Bu Ria sudah berjualan
sejak 1998 dan kini punya cabang sendiri.
Saya awalnya ragu. Tapi setelah gigitan pertama, saya
langsung paham kenapa tempat ini tidak pernah sepi.
6. Sego Goreng Mawut – Kacau yang Teratur
Sego goreng mawut adalah campuran nasi goreng, mi, telur,
kadang ditambah ayam atau sosis. Kelihatannya berantakan, tapi rasanya padu.
Coba versi kaki lima di sekitar Jalan Ijen atau Jalan Bandung malam hari. Asap wajan, suara ceplokan telur, dan aroma kecap manis dijamin bikin lapar.
![]() |
Kuliner |
7. Tempe Mendol – Kecil-Kecil Bikin Nagih
Tempe mendol adalah fermentasi tempe yang dibumbui lalu
digoreng. Rasanya gurih pedas, teksturnya padat. Biasanya jadi pelengkap rawon
atau nasi pecel.
Beberapa toko oleh-oleh juga menjual versi kemasan yang bisa
dibawa pulang.
8. Ronde Titoni – Hangatnya Malam di Jalan Zainal Arifin
Malang malam hari identik dengan Ronde Titoni, sudah ada
sejak 1948. Isiannya lengkap: ronde isi kacang, kacang tanah, pacar cina, roti
tawar, dan kuah jahe panas.
Saat saya datang pukul 21.00, banyak pelanggan duduk
lesehan. Ada yang ngobrol santai, ada juga wisatawan asing yang tampak
menikmati kuah jahe sambil tersenyum lega.
9. Pecel Kawi – Pecel Pagi Penuh Kenangan
Depot Pecel Kawi di Jalan Kawi Atas buka sejak subuh. Nasi
hangat, sayur segar, siraman bumbu kacang legit, dan mendol sebagai pelengkap.
Pengalaman saya di sini sangat berkesan. Saya sempat sarapan
di sebelah ibu-ibu warga lokal yang bilang, “kalau kamu nikah orang Malang,
besan harus disuguhi pecel Kawi.”
10. Es Tawon Kidul Dalem – Legendaris Sejak 1950
Berlokasi di daerah Kidul Dalem, es tawon berisi tape,
cincau, blewah, dan tentu saja... tawon alias madu murni. Ini bukan sembarang
es. Rasanya manis alami dan sangat menyegarkan.
Seorang penjual bilang, “kalau kamu suka es teh manis,
cobain ini dulu. Baru tahu rasa manis yang sebenarnya.”
🌟 Bonus: Pasar Oro-Oro
Dowo – Surganya Kuliner Pagi
Pasar ini bukan sekadar tempat belanja, tapi juga pusat kuliner
tradisional. Di sini kamu bisa temukan lupis, cenil, serabi, hingga nasi jagung
dengan harga murah dan rasa istimewa.
Sebagian besar tempat di atas saya datangi langsung dalam
perjalanan 3 hari ke Malang. Setiap gigitan membawa cerita. Saya percaya, kuliner
bukan sekadar makanan—ia adalah bagian dari budaya dan memori yang melekat.