Jejak Rasa di Kota Apel: Menyusuri Cita Rasa Legendaris Makanan Malang
Aroma Tradisi di Warung Pecel Kawi
Pecel Kawi bukan sekadar sarapan, melainkan nostalgia.
Warung ini berdiri sejak 1975 dan masih eksis hingga hari ini. Di sinilah cita
rasa khas Jawa Timur menyatu dalam sepiring nasi, sambal kacang yang legit, dan
sayur rebus yang segar.
Saat saya mampir ke sana pada pagi berkabut, antrian sudah
mengular. Seorang ibu separuh baya di sebelah saya berkata, “Setiap pulang
dari Surabaya, saya pasti mampir ke sini. Rasanya tak berubah sejak saya kuliah
di Malang dulu.” Itulah kekuatan rasa—ia menciptakan kenangan.
Bakso President: Antara Rel dan Rasa
Menyantap bakso di pinggir rel mungkin terdengar aneh, tapi
tidak di Malang. Bakso President yang legendaris sejak 1977 justru menjadikan
lokasinya—tepat di samping rel kereta api—sebagai daya tarik tersendiri.
Suara kereta yang melintas memberi sensasi berbeda saat
menyeruput kuah kaldu hangatnya. Saya sempat duduk di sudut yang langsung
menghadap rel, dan sensasi itulah yang membuat tempat ini tak tergantikan.
Bakso uratnya kenyal, bakso gorengnya renyah, dan pelayanannya cepat meski
pengunjung membludak.
Ronde Titoni: Hangatnya Malam di Alun-Alun
Saat malam turun dan suhu Malang mulai menggigit, tidak ada
yang lebih nikmat dari semangkuk ronde hangat. Warung Ronde Titoni yang berdiri
sejak 1948 di kawasan Pasar Besar adalah destinasi yang pas.
Saya duduk di bangku plastik sembari menikmati ronde dengan
kuah jahe yang menyengat dan bola ketan isi kacang yang lembut. Di sebelah
saya, seorang turis dari Bandung berkata, “Ini pertama kalinya saya ke
Malang, dan rasa rondenya ini luar biasa. Lebih pekat dibandingkan ronde di
tempat lain.”
Rawon Nguling: Warisan Rasa yang Tak Pernah Usang
Rawon memang bisa ditemukan di berbagai tempat, tapi Rawon
Nguling punya reputasi tersendiri. Dagingnya empuk, kuahnya hitam pekat namun
lembut di tenggorokan, dan disajikan bersama telur asin serta kerupuk udang.
Saya sempat berbincang dengan pemiliknya yang merupakan
generasi kedua. Ia mengatakan bahwa resep rawon ini tak pernah diubah sejak
awal berdiri di Probolinggo, sebelum akhirnya membuka cabang di Malang. “Kami
tidak mengejar viral, yang kami jaga adalah rasa,” ujarnya. Kalimat itu
melekat kuat di ingatan saya.
Sate Gebug: Empuknya Menggoda, Lokasinya Melegenda
Di Jalan Jenderal Basuki Rahmat, terdapat sebuah warung
kecil dengan papan nama kusam bertuliskan “Sate Gebug”. Warung ini sudah
berdiri sejak 1920-an dan tetap bertahan di tengah modernisasi.
Satenya unik—tidak ditusuk seperti pada umumnya, melainkan
dibakar dalam bentuk utuh lalu digebuk (dipukul) agar empuk. Saat dimakan,
lemak dan dagingnya mencair di mulut dengan bumbu kecap manis yang meresap
sempurna. Tidak heran, banyak pejabat dan tokoh nasional pernah mampir ke sini.
Cwie Mie dan Pangsit Mie Gloria: Rasa Tionghoa dalam
Balutan Nusantara
Cwie mie adalah representasi kuliner Tionghoa di Malang yang
telah berasimilasi dengan budaya lokal. Teksturnya lembut, topping ayamnya
gurih, dan kuah kaldunya ringan. Salah satu tempat favorit saya adalah Pangsit
Mie Gloria di kawasan Pasar Besar.
Saya ingat seorang pengunjung tetap di sana berkata, “Saya
sudah makan di sini sejak anak-anak. Sekarang anak saya yang minta ke Gloria
tiap minggu.” Warung ini memang menyimpan warisan rasa lintas generasi.
Toko Oen: Nostalgia Kolonial dalam Gigitan Es Krim
Jika kamu mencari perpaduan antara sejarah dan kuliner, maka
Toko Oen adalah jawabannya. Tempat ini bukan hanya menjual makanan, tapi juga
suasana tempo dulu. Interiornya bergaya Belanda, es krimnya dibuat dengan resep
warisan.
Di dalam toko ini, saya sempat melihat sepasang turis lansia
asal Belanda menangis saat memakan es krim rasa vanilla klasik. Ternyata,
tempat ini pernah dikunjungi orang tua mereka saat masa penjajahan. Malang
memang menyimpan cerita, bahkan bagi mereka yang datang dari jauh.
Sego Goreng Mawut dan Lalapan Cak Tomo
Malang juga punya ragam makanan jalanan yang patut dicoba.
Sego Goreng Mawut—nasi goreng dengan mie campur, telur, dan sayuran—menjadi
favorit mahasiswa di kawasan Soekarno Hatta. Di malam hari, kamu bisa menemukan
lalapan Cak Tomo yang menyajikan ayam goreng, tempe, dan sambal korek super
pedas.
Saya sempat antre di lapaknya hampir satu jam. Tapi saat
mencicipi ayam goreng panas dengan sambal yang meledak di mulut, semua
penantian itu terbayar. Pengalaman seperti ini yang tak akan ditemukan dalam
aplikasi pemesanan makanan.
Sentuhan Modern di Makanan Kekinian Malang
Tak hanya kuliner tradisional, makanan Malang juga
berkembang dengan hadirnya tren kuliner kekinian. Ada croffle sambal matah,
bakso berisi mozzarella, hingga minuman boba lokal dengan rasa tape singkong.
Salah satu kedai modern favorit saya adalah “Cuppa Kopi”, di
mana mereka menyajikan kopi lokal dan croissant isi rendang. Owner-nya, seorang
barista muda lulusan Australia, mengatakan bahwa ia ingin menghadirkan konsep
“modern taste meets local soul.” Dan benar saja, tiap gigitan menyiratkan
keunikan rasa dan inovasi.
Jalan Terbaik Menikmati Malang adalah Lewat Rasa
Di tengah gempuran kuliner instan dan viral, kota ini tetap
mempertahankan rasa yang jujur dan otentik. Dari sajian tradisional di warung
kecil, hingga sentuhan kreatif di kafe modern, makanan Malang terus
menjadi identitas dan kebanggaan.
Setiap gigitan adalah cerita, setiap tempat adalah kenangan.
Dan yang pasti, Malang selalu punya alasan untuk dikunjungi kembali—karena rasa
tak pernah selesai diceritakan.