Aroma Pagi di Gang Sempit
Saya menyusuri gang kecil di belakang Pasar Oro-Oro Dowo. Di sana, Cwie Mie yang dimasak oleh Bu Siti menyambut dengan aroma kaldu ayam yang tak bisa didustakan. “Ini resep bapak saya dulu waktu zaman Jepang,” katanya. Saya mengangguk, dan dengan satu suapan, saya tahu: inilah makanan Malang sejati, makanan malang yang tak dibuat demi kamera, tapi demi kenangan.
![]() |
Rasa kuliner Malang |
❖ Dari Pasar hingga Pegunungan: Ragam Rasa yang Tak Basi oleh Waktu
Kota Malang adalah dapur besar yang hidup. Dari kaki lima
hingga kafe pegunungan, semuanya punya cerita. Di dekat Stasiun Kota Baru, ada
Warung Bang Leo yang dikenal dengan Nasi Campurnya—bukan nasi campur
biasa, tapi nasi yang dikelilingi oleh empal goreng, sambal korek, dan telur
dadar rawit.
Bahkan di ketinggian Batu, di dekat kebun apel, saya menemukan Pos Ketan Legenda 1967. Seorang pengunjung di sebelah saya berkata, “Saya ke sini tiap Lebaran, cuma buat makan ketan susu ini.” Kalimat sederhana, tapi mengandung emosi yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah pulang lewat rasa.
![]() |
Rasa kuliner Malang |
❖ Rasa dari Masa: Warung yang
Tak Pernah Gagal
Beberapa tempat makan di Malang punya reputasi yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Salah satunya adalah Warung Subuh di
kawasan Dinoyo. Tempat ini selalu penuh dari pukul 04.30 pagi. Saya sempat
bertanya ke pelanggan tetap di sana, “Kenapa mas makan di sini tiap minggu?”
Dia menjawab, “Saya diajari bapak saya sarapan di sini sejak kecil. Rasanya
tetap, dan ingatannya juga tetap.”
Cerita seperti ini menunjukkan bahwa makanan Malang
bukan sekadar kuliner, tapi juga penanda sejarah pribadi dan komunal. Ketika
rasa tidak berubah, waktu seolah ikut berhenti di meja makan.
❖ Jajanan Jalanan: Murah,
Meriah, Mengena
Tidak sah membahas kuliner Malang tanpa menyebut jajanan
jalanannya. Dari pentol bakar hingga tahu petis, setiap sudut punya rasa yang
tidak bisa ditemukan di tempat lain.
Saya ingat saat membeli pentol bakar di kawasan Alun-Alun Merdeka. Penjualnya masih remaja, namun cita rasa saus kacangnya sudah seperti buatan nenek-nenek legendaris. Ia bercerita, “Saya coba racikan ini sejak SMP, dan sekarang jadi jualan tetap.” Pengalaman kecil seperti ini adalah bagian dari warna makanan Malang yang sesungguhnya: jujur dan penuh eksperimen rasa.
![]() |
Rasa kuliner Malang |
❖ Kedai Tersembunyi, Rasa Tak
Tergantikan
Malang juga punya banyak “warung tersembunyi” yang hanya
diketahui warga lokal. Salah satu favorit saya adalah Warung Rawon di belakang
Terminal Arjosari. Warung ini buka hanya 4 jam setiap hari, tapi antreannya
luar biasa.
Saya sempat duduk berdampingan dengan seorang sopir angkot
yang berkata, “Kalau nggak makan di sini, saya nggak bisa mulai narik.” Dari
rasa kluwek yang kuat, potongan daging yang empuk, dan sambal yang pedasnya
pelan tapi menghantam, saya tahu mengapa dia berkata begitu.
❖ Kuliner Malang dan Generasi
Baru
Yang menarik dari kota ini adalah bagaimana kuliner klasik
bertemu dengan interpretasi baru dari generasi muda. Sekarang banyak mahasiswa
membuka kedai kopi atau street food dengan sentuhan modern, tapi tetap membawa
cita rasa asli Malang.
Contohnya, di Jalan Soekarno Hatta, ada warung ramen yang
menyajikan ramen rawon. Ide absurd? Justru tidak. Kuah hitam dengan
topping telur asin dan bakso sapi lokal itu menjadi favorit banyak mahasiswa.
“Kami mencoba menjaga rasa Malang dalam bungkus Jepang,” kata pemiliknya. Dan
hasilnya? Ramai terus.
❖ Malang, Rasa yang Selalu
Pantas Diceritakan
Setiap orang yang pernah mencicipi makanan Malang akan membawa
pulang lebih dari sekadar rasa: mereka membawa cerita. Cerita tentang seorang
ibu yang berdagang sejak subuh, tentang pelanggan tetap yang datang setiap
minggu, tentang kenangan masa kecil, dan tentang warung yang bertahan bukan
karena iklan, tapi karena rasa.
Bagi saya, menulis tentang kuliner Malang bukan hanya soal
daftar menu, tapi tentang perjalanan rasa, kenangan, dan orang-orang yang
menjadikannya hidup. Kota ini bukan cuma punya makanan enak. Ia punya rasa—dan
rasa itu, tak akan pernah basi.