Lezatnya Menyelusuri Rasa: 15 Pengalaman Autentik Kuliner Malang yang Tak Terlupakan
1. Menyeruput Hangatnya Rawon Nguling di Tengah Udara
Dingin Malang
Rawon Nguling bukan sekadar makanan, tapi bagian dari sejarah kuliner Malang. Saat saya mencicipinya langsung di warung legendaris dekat Stasiun Kota Baru, rasa kuahnya begitu kaya dan dalam. Dagingnya empuk, rempahnya terasa, dan sambalnya bikin nagih. Di meja seberang, saya melihat sekelompok pelancong asal Jakarta sibuk memotret makanan mereka sambil memuji, “Enak banget, beda sama rawon di tempat lain!”
![]() |
Kuliner Malang |
2. Bakso President: Melewati Rel Demi Semangkuk Legenda
Bakso President punya daya tarik tersendiri karena letaknya
yang unik — persis di samping rel kereta. Saya sempat duduk di meja paling
dekat rel, dan tak lama kemudian kereta melintas hanya beberapa meter dari
kami. Pengalaman makan jadi makin seru! Baksonya sendiri terkenal dengan
variasi bakso urat, bakso telur, hingga bakso bakar yang disiram saus pedas
manis. Dalam satu kunjungan, saya melihat anak-anak kecil kegirangan melihat
kereta lewat sambil makan bakso. Atmosfernya sangat lokal dan tak terlupakan.
3. Pos Ketan Legenda: Legitnya Malam di Alun-Alun Batu
Kalau malam mulai turun di Batu, Pos Ketan Legenda selalu
ramai pengunjung. Saya mencoba ketan susu durian dan langsung terhanyut dalam
kelembutan teksturnya. Sambil menikmati ketan, saya duduk berdampingan dengan
pasangan asal Bandung yang bilang ini adalah kuliner favorit mereka tiap
liburan ke Malang. “Ketannya bikin kangen, sih,” kata mereka sambil tertawa
kecil.
4. Tahu Lontong Lonceng: Rasa Pedas Manis yang Melegenda
Warung kecil di sekitaran Pasar Besar ini selalu ramai. Tahu Lontong Lonceng menawarkan paduan lontong, tahu goreng, dan bumbu kacang yang khas. Menurut cerita penjaga warung, resepnya sudah dipertahankan turun-temurun sejak 1935. Saya sempat ngobrol dengan pelanggan tetap yang sudah makan di situ sejak masih kecil — sekarang dia datang bersama cucunya. “Rasanya enggak pernah berubah,” katanya dengan mata berbinar.
![]() |
Kuliner Malang |
5. Sate Gebug: Lembutnya Daging yang Digeprek Tradisi
Daging yang digepuk tipis lalu dibakar dengan bumbu
sederhana menciptakan kelezatan khas Sate Gebug. Lokasinya tak jauh dari
kawasan Kayutangan. Waktu saya ke sana, antreannya cukup panjang. Seorang
mahasiswa lokal bercerita, dia suka datang ke sini tiap akhir bulan setelah
menerima kiriman uang. “Ini self-reward paling pas,” katanya sambil tertawa.
6. Sego Goreng Mawut Klojen: Perpaduan Nasi Goreng dan
Mie yang Menggoda
Saat hujan malam mengguyur Malang, saya berhenti di warung
kaki lima yang tampak biasa saja, tapi penuh. Ternyata itu warung Sego Mawut
legendaris. Campuran nasi, mie, sayur, dan telur gorengnya terasa harmonis di
lidah. Penjualnya ramah, dan saya sempat berbincang dengan turis asal Belanda
yang tersasar ke sana dari Google Maps. Dia bilang ini adalah makanan terenak
selama dia keliling Indonesia.
7. Depot Gang Djangkrik: Surga Seafood di Tengah Kota
Kalau kamu suka olahan seafood segar dengan rasa khas Jawa
Timuran, tempat ini wajib dikunjungi. Saya mencoba Cumi Asam Manis dan Ayam
Lada Hitam — porsinya besar dan bumbunya nendang. Beberapa pengunjung dari
Surabaya yang duduk di meja sebelah saya bahkan bilang, “Porsinya gede, cocok
buat keluarga besar.”
8. Soto Geprak Mbah Djo: Resep Rahasia yang Tetap Dijaga
Soto Geprak ini punya ciri khas — dagingnya digeprek sebelum dimasak. Saya duduk di sudut warung sambil menikmati soto hangat, dan rasanya benar-benar unik. Mbah Djo, yang kini sudah digantikan cucunya, masih mempertahankan resep asli dari tahun 1930-an. Di dinding terpampang foto-foto tokoh nasional yang pernah berkunjung.
![]() |
Kuliner Malang |
9. Warung Subuh: Surga Sarapan Rakyat
Warung ini buka dari jam 4 pagi, dan sudah antre sejak pukul
05.00. Menu nasi pecel, rawon, dan lauk gorengan tersaji lengkap. Saya datang
bersama driver ojek online yang saya tanya di jalan. “Kalau butuh makan murah
enak dan cepat, ke sini aja, Mas,” katanya. Ternyata benar, rasa dan harga
bersahabat sekali.
10. Ronde Titoni: Hangatkan Malam dengan Cinta Tradisi
Wedang ronde di sini cocok disantap malam-malam. Rasa jahe
yang kuat dan ronde kenyal berisi kacang jadi penghangat suasana dingin kota
Malang. Seorang pengunjung tua yang duduk di sebelah saya bercerita bahwa dulu
dia sering ke sini bersama almarhum istrinya. Ceritanya membuat saya makin
merasakan bahwa makanan bukan cuma soal rasa, tapi juga kenangan.
11. Puthu Lanang Celaket: Bunyi Uap dan Rasa Legendaris
Malam hari di sudut Jalan Jaksa Agung Suprapto, suara uap
dari kukusan putu memanggil para pelanggan. Saya membeli satu porsi dan
menunggu sekitar 10 menit. Saat menggigit kue putu berisi gula merah cair yang
masih hangat, saya langsung paham kenapa banyak orang rela antre. Bahkan ada
yang pesan dari Jakarta untuk dikirim ke hotel.
12. Depot HTS: Nostalgia Masakan Rumahan
HTS singkatan dari “Hidangan Tiga Saudara”. Menu rumahan
seperti sayur asem, ikan goreng, dan tumisan jadi daya tariknya. Saya makan
bersama teman asal Malang yang bilang ini warung nostalgia waktu sekolah dulu.
“Dulu Rp 3.000 udah kenyang, sekarang ya… tetap worth it!” katanya.
13. Warung Lama Haji Ridwan
Dikenal dengan olahan empal, semur, dan nasi rawon khas.
Saya sempat berbincang dengan cucu dari pendiri warung yang menceritakan
bagaimana warung ini bertahan melewati masa penjajahan dan reformasi. Kini
generasi keempat meneruskan usaha ini dengan bangga.
14. Cwie Mie Pojok
Cwie Mie — versi Malang dari mie ayam. Bedanya, topping
ayamnya halus seperti abon dan ditambah selada segar. Tempat ini sudah terkenal
sejak lama dan menjadi favorit mahasiswa. Di meja seberang, dua mahasiswi UI
bercerita mereka rela ke Malang hanya buat kulineran. “Pesenan pertama kami
selalu cwie mie ini!”
15. Toko Oen: Nostalgia Kolonial dan Es Krim Jadul
Interior bergaya Belanda dan es krim klasik jadi daya tarik
utama. Saya mencoba Es Krim Tutti Frutti dan teringat film-film zaman dulu.
Pelayan di sana bilang, “Toko ini sudah ada sejak 1930-an. Banyak turis asing
dan lokal datang karena rindu suasana lawas.”